Riba


Riba

penulis Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Syariah Kajian Utama 28 – Februari – 2007 05:59:04

Berikut pembahasan riba dgn seluk-beluknya. Materi ini mungkin terasa berat karena dibutuhkan perhatian yg lbh saat membacanya. Harapan kami tulisan yg singkat dan padat ini bisa memberi manfaat bagi anda.

Pada beberapa edisi sebelum telah dibahas syarat-syarat jual beli yg sesuai dgn tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yg dilarang dlm Islam.
Pada edisi kali ini akan dibahas secara khusus seputar masalah riba krn tema ini tergolong paling sulit dlm bab jual beli. Juga krn terlalu banyak praktik riba di kalangan kaum muslimin khusus di Indonesia ini.

Definisi Riba
Secara bahasa riba berarti bertambah tumbuh tinggi dan naik. Adapun menurut istilah syariat para fuqaha sangat beragam dlm mendefinisikannya. Sementara definisi yg tepat haruslah bersifat jami’ mani’ yaitu mengumpulkan hal-hal yg termasuk di dlm dan mengeluarkan hal-hal yg tdk termasuk darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus adl yg diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dlm Syarah Bulughul Maram bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yg diharamkan dlm syariat ada tafadhul antara kedua dgn ganti dan ada ta`khir dlm menerima sesuatu yg disyaratkan qabdh .”
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yg diharamkan termasuk dlm kategori riba. Dengan cara seperti ini dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا

“Riba itu ada 73 pintu.”
Bila tiap sistem jual beli yg terlarang masuk dlm kategori riba mk akan dgn mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yg dinashkan sebagai riba atau krn ada unsur penambahan pada mk akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dlm kitab As-Sunnah . Lalu beliau berkata : “Menurut madzhab ini firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ

“Dan Allah menghalalkan jual beli.”
memiliki makna umum yg mencakup semua sistem jual beli yg tdk disebut riba. Dan tiap sistem jual beli yg diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dlm firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah mengharamkan riba.”
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dlm Takmilah Al-Majmu’ bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar Al-Imam Ash-Shan’ani Al-Imam Asy-Syaukani dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dgn dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:

لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

“Tidak boleh ada dua akad dlm satu akad jual beli. Sesungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba yg memberi makan orang lain dgn riba dua saksi dan pencatatnya.” dgn sanad hasan}
Al-Marwazi dlm Sunnah- menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yg menunjukkan bahwa tiap jual beli yg dilarang adl riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا

“Salaf pada hablul habalah adl riba.” }
Al-Imam As-Sindi dlm Hasyiyatun Nasa‘i menjelaskan: “Sistem salaf dlm hablul habalah adl sang pembeli menyerahkan uang kepada seseorang yg mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yg ada di dlm perut telah melahirkan mk aku beli anak darimu dgn harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dgn riba sebab hukum haram seperti riba dipandang dari sisi bahwa ini adl menjual sesuatu yg tdk dimiliki oleh si penjual dan dia tdk mampu utk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar padanya.”

Hukum Riba
Riba dgn segala bentuk adl haram dan termasuk dosa besar dgn dasar Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antara adalah:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Juga dlm firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

“Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang2 yg beriman. mk jika kamu tdk mengerjakan mk ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا

“Jauhilah tujuh perkara yg menghancurkan –di antaranya– memakan riba.”
b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:

لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا

“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”
Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan Al-Imam Muslim yg dilaknat adl pemakan riba pemberi riba penulis dan dua saksi lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

هُمْ سَوَاءٌ

“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adl haram dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yg digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yg disebut dlm Al-Qur`an yg lbh dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dlm Al-Majmu’ .
Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adl haram di negara Islam secara mutlak antara muslim dgn muslim muslim dgn kafir dzimmi muslim dgn kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yg terjadi di negeri kafir antara muslim dgn kafir. Pendapat yg rajih tanpa ada keraguan lagi adl pendapat jumhur yg menyatakan keharaman secara mutlak dgn keumuman dalil yg tersebut di atas. Yang menyelisihi adl Abu Hanifah dan dalil yg dipakai adl lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yg terjadi antara orang kafir dgn orang kafir lainnya. Pendapat yg rajih adl bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka sebab orang2 kafir juga dipanggil utk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam sebagaimana yg dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.

Barang-barang yg Terkena Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ

“Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma dan garam dgn garam harus sama serah terima di tempat . Barangsiapa menambah atau minta tambah mk dia terjatuh dlm riba yg mengambil dan yg memberi dlm hal ini adl sama.”
Demikian pula hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dlm riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yg terkena hukum riba yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr
4. Sya’ir
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat apakah barang yg terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lbh detail masalah ini perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma garam burr dan sya’ir.
Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah Qatadah Thawus ‘Utsman Al-Buthi dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adl pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adl dzahir pembahasan Asy-Syaukani dlm Wablul Ghamam dan As-Sail serta pendapat ini yg dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu Syaikhuna Yahya Al-Hajuri Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tdk dapat diqiyaskan dgn yg lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dgn enam barang di atas bila ‘illat sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat- sebagai berikut:
a. An-Nakha’i Az-Zuhri Ats-Tsauri Ishaq bin Rahawaih Al-Hanafiyyah dan pendapat yg masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yg ditakar dan atau ditimbang baik itu sesuatu yg dimakan seperti biji-bijian gula lemak ataupun tdk dimakan seperti besi kuningan tembaga platina dsb. Adapun segala sesuatu yg tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba pada seperti buah-buahan krn ia diperjualbelikan dgn sistem bijian.
Sehingga menurut mereka tdk boleh jual beli besi dgn besi secara tafadhul sebab besi termasuk barang yg ditimbang. Menurut mereka boleh jual beli 1 pena dgn 2 pena sebab pena tdk termasuk barang yg ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dgn lafadz yg tersebut dlm sebagian riwayat:

إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ.. إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ

“Kecuali timbangan dgn timbangan kecuali takaran dgn takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal Ibnul Mundzir dan yg lain bahwa riba itu berlaku pada semua yg dimakan dan yg diminum baik itu yg ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka tdk boleh menjual 1 jeruk dgn 2 jeruk 1 kg daging dgn 15 kg daging. Semua itu termasuk barang yg dimakan. Juga tdk boleh menjual satu gelas jus jeruk dgn dua gelas jus jeruk sebab itu termasuk barang yg diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu bahwa riba berlaku pada makanan pokok yg dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama bahwa riba berlaku pada barang-barang yg warna dan rasa sama dgn kurma garam burr dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah bahwa riba berlaku pada barang-barang yg dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib Asy-Syafi’i dlm pendapat lama satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Qudamah Ibnu Taimiyyah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada tiap barang yg dimakan dan diminum yg ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yg tdk ditakar atau ditimbang tdk berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yg dimakan dan diminum namun tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adl pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka yaitu bahwa tdk ada qiyas dlm hal ini dgn argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yg tersebut dlm masalah ini yg menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adl halal kecuali ada dalil yg mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Sementara yg dikecualikan dlm hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yg disebutkan oleh jumhur tdk disebutkan secara nash dlm sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah mereka sendiri berbeda pendapat dlm menentukan batasan-batasannya.

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا

“Kalau kira bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yg banyak di dalamnya.”
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yg beralasan dgn lafadz كَيْلاً بِكَيْلٍ dan yg tersebut dlm sebagian riwayat mk jawaban adl bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yg ditimbang adl emas dan perak bukan barang yg lain dlm rangka mengompromikan dalil-dalil yg ada.
Atau dgn bahasa lain yg dimaksud dgn lafadz-lafadz di atas adl kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg tersebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan pada sebagian riwayat mk dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani yg kesimpulan adl bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah utk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg disebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yg dijadikan dalil oleh jumhur mk jawaban adl sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dita tentang masalah ini beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yg terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dlm bab riba dari satu sisi dan masuk dlm bab gharar dari sisi yg lain. Pada barang-barang yg terkena riba mk masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yg tdk terkena riba mk dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka berpendapat bahwa perkara adl ta’abuddi tauqifi yakni demikianlah yg disebut dlm hadits ‘illat- adl bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini mk riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak baik itu dijadikan sebagai alat bayar utk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dlm sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yg masyhur dari madzhab Hanabilah bahwa ‘illat- adl krn emas dan perak termasuk barang yg ditimbang. Sehingga tiap barang yg ditimbang seperti kuningan platina dan yg semisal termasuk barang yg terkena riba yaitu diqiyaskan dgn emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dgn kenyataan ada ijma’ ulama yg membolehkan ada sistem salam2 pada barang-barang yg ditimbang. Seandai tiap barang yg ditimbang terkena riba niscaya tdk diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad bahwa ‘illat- adl tsamaniyyah utk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja tdk masuk pada barang yg lainnya.
Yang rajih wallahu a’lam adl pendapat pertama dan tdk bertentangan dgn pendapat ketiga. Sebab yg ketiga termasuk pada pendapat pertama wallahu a’lam. Dalil adl hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.

Mata Uang Kertas
Para ulama berbeda pendapat dlm masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yg dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yg rajih insya Allah adl bahwa mata uang kertas adl sesuatu yg berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis sesuai dgn perbedaan jenis pihak yg mengeluarkannya.
Ini adl pendapat Malik Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yg kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dgn emas dan perak krn hampir mirip dgn ‘illat tsamaniyyah yg ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar utk barang-barang lain sebagai harta benda transaksi jual beli pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yg dgn dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas mk ada beberapa hukum syar’i yg perlu diperhatikan berkaitan dgn masalah ini. Disebutkan dlm Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba pada mata uang kertas sebagaimana yg terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama atau dgn jenis mata uang yg lain secara nasi`ah secara mutlak. Misal tdk boleh menjual 1 dolar dgn 5 real Saudi secara nasi`ah .
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama secara fadhl baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misal tdk boleh menjual Rp. 1000 dgn Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dgn jenis mata uang yg berbeda secara mutlak dgn syarat serah terima di tempat. Misal menjual 1 dolar dgn Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakat bila mencapai nishab dan satu haul. Nishab adl nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dlm syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Muzabanah yaitu membeli burr yg masih di pohon dgn burr yg sudah dipanen atau membeli anggur yg masih di pohon dgn zabib .
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dlm majelis akad utk membeli suatu barang yg diketahui sifat tdk ada unsur gharar pada dgn jumlah yg diketahui takaran/timbangan yg diketahui dan waktu penyerahan yg diketahui.

Sumber: http://www.asysyariah.com

  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar